Irvanuddin |
Di zaman ini, mungkinkah kita masih bisa berkomunikasi
dengan Tuhan? Bukankah Nabi terakhir telah lama wafat, dan kitab suci terakhir
telah diturunkan lima belas abad yang lampau serta Tuhan telah menyatakan
sempurnanya agama kita. Masihkah terjadi dialog antara hamba dengan Tuhan?
Neale Donald Walsch percaya akan hal itu. Walsch
mengaku masih bisa berdialog dengan Tuhan. Ia kemudian menuliskan hasil dialog
dengan Tuhan itu dalam bukunya "Conversations with God: an uncommon
dialogue", sebuah buku yang telah berulang kali dicetak ulang.
"Aku tidak berkomunikasi semata dengan kata.
Bentuk komunikasi yang Kupilih lebih melalui "perasaan" (feeling).
Perasaan adalah bahasa jiwa. Jika kamu ingin tahu apa yang benar tentang
sesuatu, lihatlah bagaimana perasaanmu terhadap sesuatu itu.
Aku juga berkomunikasi lewat "pikiran"
(thought). Pikiran dan perasaan tidaklah sama, meskipun keduanya dapat
berlangsung pada saat yang sama. Dalam komunikasi lewat pikiran, Aku
menggunakan media imajinasi dan gambaran. Karenanya, pikiran lebih efektif
daripada menggunakan "kata" sebagai alat komunikasi.
Sebagai tambahan, Aku juga menggunakan kendaraan
"pengalaman" sebagai media komunikasi. Dan akhirnya, ketika perasaan,
pikiran dan pengalaman semuanya gagal, Aku menggunakan "kata-kata".
Kata-kata adalah media komunikasi yang paling tidak efektif. Kata-kata lebih
sering dikelirutafsirkan dan disalahpahami. Dan mengapa itu terjadi? Karena
demikianlah kata-kata itu. Mereka hanya simbol dan tanda. Kata-kata bukanlah
kebenaran; juga bukan sesuatu yang hakiki." (Walsch:1997, h. 3-4)
Inilah "jawaban" Tuhan, ketika Walsch
bertanya tentang cara Tuhan berkomunikasi dengan kita. Anda boleh tak setuju
dengan pengakuan Walsch. Tak ada larangan kalau anda bersedia menggelari dia
dengan "pendusta".
Tapi, buat saya, yang menarik adalah kutipan di atas.
Bahkan seorang non-Muslim seperti Walsch pun percaya bahwa Tuhan masih
berkomunikasi dengan kita. Sayang, terkadang kita lupa akan hal ini, bahwa
Tuhan masih berkomunikasi dengan hamba-Nya.
Ketika Walsch --atau "Tuhan"-- menyebutkan
perasaan, pikiran, pengalaman dan kata-kata sebagai bentuk komunikasi dari
Tuhan, saya teringat, Syaikh Terbesar, Ibn Arabi yang mengatakan bahwa alam
semesta merupakan bentuk tajalli dari Allah. Karena itu kemana saja kita
arahkan pandangan mata kita, sebenarnya kita menangkap "tanda" Tuhan
di sana.
Sayang, kita suka enggan berkomunikasi dengan Tuhan.
Shalat pun menjadi berat. Beban kerja yang menumpuk menjadi alasan. Saat kita
menzalimi saudara kita, kita sering lupa bahwa saudara kita masih bisa
berkomunikasi dengan Tuhan dan mengadukan kelakuan kita. Ketika duka datang
menerpa kita, kita lebih percaya untuk berkomunikasi dengan "orang
pintar" dibanding kita adukan derita kita langsung kepada Tuhan. Alih-alih
melihat "tanda" dari Tuhan, hambatan ekonomis malah menjadi pembenar
ketika kita menerima uang yang bukan hak kita.
Anda boleh tak setuju bahwa buku Walsch merupakan
hasil komunikasinya dengan Tuhan. Anda boleh tak setuju ketika Ibn Arabi
mengaku "didiktekan" Malaikat ketika menulis Futuhat al-Makkiyah,
namun tak ada salahnya saya mengutip lagi isi buku Walsch, ketika
"Tuhan" berkata:
"Aku bicara kepada setiap orang. Pada setiap
waktu. Masalahnya bukan kepada siapa Aku bicara, tetapi siapa yang mau
mendengarkan?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon kritik, saran, tanggapan dan masukan yang sifatnya membangun untuk memperbaki tulisan diatas.
Sebelumnya, saya ucapkan banyak terimakasih.