Nabi Muhammad SAW Bersabda Sampaikan Dariku Walaupun Hanya Satu Ayat

Assalamu’alaikum Wr Wb Kami Ucapkan Selamat Datang dan Selamat Membaca Di Blog Kami Terimakasih

Manusia yang baik adalah manusia yang mampu memberikan manfaat bagi orang lain

Sabtu, 28 April 2012

Keajaiban Hamba Allah SWT


Hamba Allah

Seorang rekan yang mengaku mengalami berbagai keajaiban bercerita banyak pada saya. Bagaimana keluarganya menganggap bahwa do'a yg dia panjatkan pasti diterima Allah. Bagaimana salah satu dari keluarganya adalah penganut salah satu tarekat. Jika dia berdo'a, sudah bisa merasakan apakah do'a ini terkabul atau tidak.
Rekan lain juga bercerita bagaimana dia mengalami keajaiban. Ketika dia berdo'a agar termasuk mereka yang berhati emas, tiba-tiba dia melihat langit berwarna keemasan dan tetesen emas itu bagaikan jatuh ke bumi.
Entahlah, apakah pengalaman rekan-rekan saya tersebut benar-benar terjadi atau tidak. Saya hanya khawatir dua hal:
1.       Kita berubah menjadi riya' ketika kita menceritakan hal-hal itu. Saya khawatir kita justru tidak mendapati keajaiban lagi ketika hati kita telah tergelincir pada riya'.
2.       Kita beribadah karena mengejar keajaiban; bukan semata-mata karena Allah. Kita baca wirid sekian ribu kali, dengan harapan bisa menghasilkan keajaiban, apakah tubuh yg kebal, terungkapnya hijab (kasyaf) dan lainnya. Kita jalani sholat sunnah ratusan rakaat juga demi mengejar "keanehan-keanehan". Kita jalani ritus-ritus itu hanya karena ingin mencapai ma'rifat (yang sayangnya dikelirukan sebagai memiliki keajaiban).
Yang lebih celaka lagi, ketika kita mendapat keajaiban tiba-tiba kita mengklaim bahwa Tuhan sangat dekat dengan kita sehingga status kita naik menjadi wali. Sayang, setelah "merasa" menjadi wali, kita lupakan aspek syari'ah. Konon, bagi mereka yang sudah mencapai aspek ma'rifat tidak perlu lagi menjalankan aspek syari'at.
Entahlah, saya yang merasa belum naik-naik maqamnya dari status awam hanya bisa merujuk kisah Nabi Zakariya dan Siti Maryam.
Nabi Zakariya diberi anugerah putera, padahal dia sudah tua dan isterinya mandul. Setelah mendapat keajaiban ini, Allah memerintahkan pada-Nya, "Sebutlah nama Tuhan-mu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari" (Qs 3: 41).
Maryam pun mendapat keajaiban berupa putera (padahal dia tidak pernah "disentuh" lelaki). Namun setelah Allah memberitahu tingginya kedudukan Maryam, Allah menyuruh Maryam, "Ta'atlah kepada Tuhan-mu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku' (Qs 3: 43).
Ternyata, hamba Allah seperti Nabi Zakariya dan Siti Maryam pun tetap tidak meninggalkan aspek syari'at meskipun telah memiliki keajaiban.
Berkenaan dengan keajaiban, Abu Sa'id, sufi besar abad 10 dan 11 Hijriah, pernah bertemu orang yang menceritakan sejumlah keajaiban "wali".
Orang itu berkata, "Dia bisa terbang..."
Abu Sa'id menjawab, "ah...tak aneh...burung saja bisa terbang"
Yang aneh justru adalah mereka yang mengaku-aku wali dan sufi sambil mendemonstrasikan "keajaibannya". Wali dan Sufi sejati tak butuh pengakuan orang lain akan ke-waliannya. Wali dan sufi sejati tak akan pernah meninggalkan aspek syari'at, meski telah mencapai maqam ma'rifat.
Wallahu’alam…..
Sesungguhnya kebenaran hanya milik Allah SWT……

Jumat, 27 April 2012

Makna Dari Al-Waliyyu


Asmaul Husna

Bismillahhirrahmaanirrahiim,
Semoga Allah yang Maha Menatap, mengkaruniakan kepada kita nikmatnya berlindung hanya kepada Allah, amannya berlindung hanya kepada Allah, karena yang membuat kita gelisah adalah ketika kita berlindung selain kepada Allah.
Al-Walliyyu makna dasarnya menurut Prof. Dr. Quraish Syihab yaitu dekat, kemudian muncul makna-makna baru yaitu pendukung, pembela, pelindung, yang mencintai, yang lebih utama, dll.
Seperti tertera dalam Al-Qur'an "Allah pelindung orang yang beriman yang mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya iman".
Perlindungan Allah yang paling penting adalah diberi keteguhan iman. Perlindungan Allah yang paling besar adalah diberi kekuatan iman. Makin kuat iman, kita mau diapa-apakan tidak masalah. Jadi kalau ingin diberi perlindungan Allah yang paling kokoh adalah minta diberi kekuatan iman dan minta diteguhkan. Akal kita dicerdaskan juga dapat merupakan perlindungan Allah sehingga kita bisa bertemu dengan perlindungan Allah.
Perlindungan Allah itu bermacam-macam, contohnya pada Perang Badar, bukan hanya pasukan malaikat saja yang turun tetapi musuh juga jadi terlihat sedikit dimata kaum muslimin.
Musuh terbesar bagi kita adalah bukan makhluk, karena itu hanya alat, musuh besar kita adalah setan dan kawan-kawannya. Hal yang paling berbahaya bagi kita adalah bukan orang lain tetapi sikap kita sendiri. Sedangkan kalau tidak ada musuh tidak akan seru. Maka orang-orang yang berlindung kepada Allah pasti memuaskan dan nikmat, karena perlindungan Allah itu spektrumnya sangat luas, bisa terdeteksi bisa juga tidak terdeteksi oleh akal kita. Tidak ada yang tidak masuk akal, tetapi akal kita yang tidak sampai. Titipkan istri atau suami masing-masing kepada Allah. Dengan mengamalkan doa "Hasbunallah wani'malwakil Ni'malmaula wani'mal nashir". Dengan mengamalkan doa ini dan meyakini bahwa semua makhluk itu milik Allah. Dengan Allah-lah urusan kita serahkan. Berdiri, duduk dan berbaring ingat kepada Allah karena semuanya milik Allah. Sesuai dengan kisah Nabi Muhammad SAW ketika diancam untuk dibunuh dengan pedang terhunus, kata yang keluar dari mulut Beliau adalah "Aku berlindung kepada Allah".
Ini adalah ilmu hati, berbeda lagi dengan ilmu akal dan ilmu fisik, karena nanti kita tidak bisa mati konyol karena hanya yakin. Ini adalah jalan syariat untuk tidak konyol.
Tidak boleh keyakinan melemahkan ikhtiar, tidak boleh kegigihan ikhtiar memperlemah keyakinan. Jadi lakukanlah ikhtiar; tubuh 100% bersimbah keringat terus berbuat all out, otak peras sesuai teknologi yang paling mutakhir saat ini. Kita tidak bisa konyol dengan hanya membawa panah melawan peluru. Ilmu hatinya sudah benar dengan keyakinan tetapi sunnatullahnya adalah kecepatan peluru lebih daripada panah, hal ini harus diakali. Berbeda dengan zaman Rasul atau sudah tidak ada peluang.
Sebuah kisah meriwayatkan ketika Rasulullah hijrah dan berdoa di goa Tur, sahabat Abu Bakar merasa gentar, jawaban Rasul adalah "Jangan sedih sesungguhnya Allah bersama kita".
Jadi kita sempurnakan syariat, tubuh harus dimaksimalkan, otak juga. Dua-duanya akan menjadi ibadah. Tidak masalah jika kita mati terbunuh. Tidak ada yang kalah kecuali orang yang kurang iman.  Kemenangan dan kekalahan hanya dipergilirkan. Mudah-mudahan kejadian di Palestina dan Amerika membuat kita semakin mantap untuk meyakini kebenaran.
Walhamdulillahirobbil'alamiin.


Bagaimana Anda Memperlakukan Al-Qur'an???


Al-Qur'an memperkenalkan dirinya sebagai "Kitab yang tiada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa" (Qs 2: 2). Artinya, kitab suci Al-Qur'an merupakan petunjuk dan pegangan hidup kita.
Persoalannya sekarang, bagaimana sebenarnya kita memperlakukan Al-Qur'an dalam hidup kita?
Buat sebagian kecil dari kita Al-Qur'an dipandang seolah-olah sebagai "Jimat" yang kalau ayat tertentu dibaca maka akan menimbulkan hal yang luar biasa, buat sebagian dari kita Al-Qur'an hanyalah merupakan objek ilmiah yang pantas utk dikotak-katik ayatnya satu demi satu, buat sebagian lagi dari kita mungkin saja Al-Qur'an merupakan sumber "legitimasi", dalam arti kita gunakan akal pikiran kita utk memecahkan atau menjelaskan masalah lalu kita cari justifikasinya dalam ayat Qur'an.
Apakah cukup al-Qur'an kita perlakukan demikian?
Bukankah ia merupakan kitab petunjuk?
Sebagai kitab petunjuk berarti al-Qur'an merupakan sumber inspirasi dan sumber bagi hidup kita. Pernahkah kita bila menghadapi masalah kita pecahkan dengan membaca Qur'an?
Sudikah kita disaat mendapat banyak rezeki kita syukuri rezeki itu dengan membaca al-Qur'an? Maukah kita disamping membaca koran dan email tiap hari juga mau membaca al-Qur'an setiap hari?
Pernahkah kita introspeksi perjalanan hidup kita dengan melihat kandungan ayat suci al-Qur'an sebagai "hakim"nya?
Pada umur berapa kita mulai tertarik dengan al-Qur'an dan bersedia menelaah ayat demi ayatnya?
Saya percaya karena Al-Qur'an merupakan kitab petunjuk bagi kita, maka siapapun kita dan apapun background pendidikan kita, maka kita memiliki hak yang sama utk mengakses kitab suci Al-Qur'an.
Sudahkah kita gunakan hak kita itu dengan sebaik-baiknya?
Membaca Al-Qur'an merupakan syarat pertama untuk menjadikan kitab suci ini sebagai petunjuk hidup kita.
Bisakah kita menjadikan al-Qur'an sebagai petunjuk, namun amat jarang kita membacanya?
Konon, Iqbal kecil dibisiki oleh Ayahnya, "Bacalah Qur'an seakan-akan ia diturunkan untukmu". "Sejak saat itu," kata Dr. Muhammad Iqbal--cendekiawan besar asal India, "setiap aku membaca al-Qur'an seakan-akan Al-Qur'an berbicara padaku!"
Maukah kita meningkatkan kedudukan kita, dari sekedar membaca al-Qur'an sampai "berbicara" dengan Al-Qur'an?
Wallahu’alam…….
Maha Benar Allah dengan Segala Firman-Nya

Teori Kepemimpinan


Irvanuddin

Bismillahirrohmanirrohim,
Duhai Allah yang Maha Menatap, karuniakanlah kepada kami ilmu yang membuat kami dapat mengenal RasulMu, yang membuat kami tetap lurus berjalan di jalanMu. Wahai yangMaha Mendengar, lindungi pertemuan ini dari ilmu dan amal yang menyesatkan. Amin Ya Robbal'alamin.
Indonesia dengan hampir 200 juta umat Islam, kalau saja bisa memiliki pemimpin yang sangat tangguh akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikut. Kalau pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Para pengikut menduplikasi pemimpinnya. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pimpinan kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula umatnya. Kalau kita lihat kondisi bangsa kita sekarang jangan pesimis, kalau kita tidak bisa memimpin sekarang, mudah-mudahan generasi kita yang akan datang akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas tinggi.
Apakah pemimpin itu lahir begitu saja?
Kalau singa, sudah dilahirkan menjadi raja hutan, tetapi manusia ada yang memiliki bakat menjadi pemimpin, belum tentu dapat memimpin dengan baik kalau tidak disertai dengan ilmu. Menurut analisa di Indonesia, ada jenis pemimpin ulama pesantrenan: dibesarkan di pesantren, ilmu agamanya luas, tapi kelemahannya kata para ahli adalah dalam bidang manajemen, sehingga sulit untuk mengurus sesuatu yang besar. Ada juga yang birokrat: aktif di islam, kemampuan organisasinya bagus tetapi pendalaman agamanya belum mantap. Ada tipe mubaligh yang seperti selebritis: dia ceramahnya bagus, diliput media massa, akhirnya jadi terkenal dimana-mana, dijadikan idola, tetapi kadang-kadang kurang mengakar dalam menggerakkan masyarakat.
Yang kita impikan adalah yang seperti Rasul, dia mumpuni dalam keilmuannya, berkemampuan dalam manajemen, beliau juga punya kemampuan membangun opini di masyarakat .
Dengan dasar "Setiap diantaramu adalah pemimpin", Setiap kepemimpinan akan ditanya oleh Allah. Semua pemimpin termasuk pemimpin rumah tangga tidak terkecuali. Berikut rumus sederhana untuk menjadi pemimpin yang dicintai.
Pemimpin itu bukan yang mengerjakan segalanya sendiri, kalau ia melakukannya sendiri akan gagal ia memimpin. Kalau kita ingin untung sendiri akan sengsara akhirnya, karena kita sering merasa untung jika kita untung sendiri, padahal keuntungan sebenarnya bagi kita adalah jika kita menjadi jalan keuntungan bagi orang lain.
Apakah rahasia utama kepemimpinan?
Jawabannya adalah : kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan dari kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik, jangan pikirkan orang lain, pikirkan diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan ini bagus, kokoh, megah karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong kalau tidak diawali dengan diri sendiri.
Ibu yang ingin anaknya ramah dan lembut. Dalam hatinya ibu tersebut bertanya, sudah ramah dan lembutkah saya?
Maka jangan menyuruh orang lain kalau belum menyuruh diri sendiri, jangan melarang orang lain sebelum melarang diri. Orang yang tidak cocok antara perbuatan dan perkataan akan runtuh wibawanya. Guru, ibu, bapak atau pemimpin akan runtuh wibawanya kalu tidak cocok. Siapapun kalau tidak serius menjadi contoh akan jatuh wibawanya.
Ada seorang yang mengajarkan ilmu di Daarut Tauhiid mengatakan bahwa visual itu mengambil bagian 50-60 persen, sedang vokal hanya beberapa persen sisanya adalah verbal. Kata-kata seperti ini kecil pengaruhnya, yang berpengaruh itu adalah visual kita. Contohnya nada bicara dalam berkata-kata. Tetapi jika tidak berkata-katapun akan jadi masalah.
Jadi kalau kita berangan-angan ingin jadi pemimpin jangan memikirkan bawahan, pikirkan saja diri kita dulu. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi Mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri adalah omong kosong. Misalnya ketika sedang rapat kita sombong, berapa banyak potensi yang tidak bisa keluar hanya karena pemimpinannya sombong. Rapat yang dipimpin dengan emosional akan banyak potensi solusi yang tidak dapat keluar karena pemimpinnya emosional. Makanya seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.
Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam menjadi contoh atau suri tauladan, modalnya harus yakin dengan kebenaran contoh tersebut; karena kalau kita tidak yakin atau ragu-ragu kita tidak dapat menjadi contoh. Hanya orang yang berpengetahuan luas yakin akan ilmunya yang berhasil menjadi contoh.
Ingatlah rumus 5 S (senyum, salam sapa, santun, sopan). Khusus untuk pelajaran senyum, ternyata jika kita makin tahu ilmu senyum makin nikmat senyum itu. Senyum itu bisa dilihat dari mata. Senyum yang asli, mata itu sedikit redup, karena kalau melotot tidak jadi senyumnya.
Ternyata untuk senyum itu memerlukan 14 otot yang aktif, sedangkan untuk cemberut bisa sampai 32 otot. Akibatnya energi cemberut itu lebih banyak daripada energi senyum. Senyum itu bisa kalau dalam hatinya rindu membahagiakan orang lain. Kalau orang kita ajak senyum maka akan terbawa senyum. Orang yang marah dihadapi dengan senyum insya Allah akan reda. Semakin lengkap ilmu tentang senyum akan makin nikmat senyum kita. Maka orang-orang yang akan menjadi contoh yang baik adalah orang yang yakin akan kebenaran yang dicontohkannya itu. Orang yang kurang ilmu akan sulit menjadi contoh.
Hal yang kedua adalah; orang itu dapat menjadi contoh kalau ia sudah mengamalkannya, kalau tidak mengamalkannya tidak akan ada ruhnya. Orang yang sibuk memberi contoh tetapi orang itu belum menikmatinya akan menjadi susah.
Nabi Muhammad SAW menyuruh sedekah, ditandai dengan setiap orang yang meminta tidak akan ditolaknya. Sedangkan kita menyuruh bersedekah, dalam bersedekah harus berfikir-fikir terlebih dahulu. Nabi Muhammad SAW menyuruh untuk hidup bersahaja dengan rumahnya yang sederhana. Apa yang diucapkan sama dengan yang diperbuat. Dalilnya adalah; "Amat besar kemurkaan Allah apabila ada yang berkata-kata apa yang tidak diperbuatnya".
Hal ketiga adalah; kalau ingin menyuruh/menjadi contoh itu harus sabar, karena sabar itu indah. Karena menyuruh orang lain itu tidak seperti membalikkan tangan. Pemimpin yang tidak punya kesabaran tidak akan dapat memimpin dengan baik. Makanya kalau punya anak harus sabar. Membalikkan hati anak, bukan tugas kita tetapi Allahlah yang melakukannya. Tugas kita adalah meberikan contoh. Kalau belum menurut sekarang, mungkin besok. Kalau pemimpin tidak punya kesabaran tidak akan efektif.
Hal yang keempat adalah; harus ikhlas, ciri orang yang ikhlas itu adalah jarang kecewa. Orang yang ikhlas itu dipuji/dicaci sama saja. Kalau kita bertambah semangat ketika dipuji, dan patah semangat karena dicaci, tidak melakukan karena tidak ada yang memuji itu namanya kurang ikhlas. Kita hanya melakukan saja, mau dipuji atau tidak silakan saja, Allah Maha Melihat. Makanya terus memberi contoh sambil terus berharap diterima Allah amalan kita. Dengan kombinasi keyakinan, yang kita contohkan menjadi bagian dari diri kita, kesabaran yang prima, dan keikhlasan.
Hati itu tidak bisa disentuh kecuali oleh hati juga. Kalau sudah diberi contoh dan tidak ada yang mengikuti, tidak apa-apa karena tidak akan habis pahalanya jika tidak ada yang mengikuti. Dalilnya: "Sekecil apapun perbuatan kembali kepada kita". Lakukan saja. Dan tidak boleh ujub, misalnya; ketika kita sukses dalam memberi contoh, jangan ujub, karena orang lain berubah belum tentu karena contoh kita. Ketika kita memberi contoh di rumah, tetangga mengikuti, orang lain mengikuti, kita tidak boleh ujub karena akan hilang pahalanya. Jangan pernah merasa berjasa. Jangan merasa sudah merubah orang lain, karena yang membolakbalikkan hati adalah hanya Allah. Kalau kita sudah beramal sebaiknya dilupakan saja. Piala sebesar apapun akan kecil artinya, yang paling berharga adalah keikhlasan. Apalah artinya jika kita medapat piala yang akan membuat kita jadi riya.
Tingkatkan diri kita menjadi contoh mulai dari wajah yang senyum, jadikan contoh, sapa kepada siapapun, ucapan salam. Lakukan apa yang kita inginkan orang lain lakukan, baca Qur'an. Kalau ingin anak-anak kurang menonton TV kita harus mencontohkan terlebih dahulu.
Rahasia kekuatan pemimpin adalah suri tauladan. Sebagai contoh, mengapa P4 gagal diterapkan di Indonesia?   Sederhanya sekali jawabannya, yaitu tidak ada contohnya. Kita jadi bingung karena tidak ada yang paling paham tentang P4.
Rasulullah SAW adalah suri tauladan. Ketika Rasul mengajak jihad, beliau langsung ada di barisan paling depan. Bahkan Imam Ali mengatakan kalau pertempuran sudah berkecamuk begitu dashyat maka kami berlindung di balik Rasul. Beliau itu bertempur paling depan, bersedekah seperti angin dan hidup bersahaja. Ketika Rasul menyuruh bertahajud, kakinya sampai bengkak. Ketika Rasul menyuruh shaum perutnya sampai diganjal dengan batu. Ketika Rasul menyuruh orang berakhlak mulia, beliaulah yang akhlaknya paling mulia. Apapun yang beliau katakana kepada umatnya, pasti beliau lakukan. Itulah sebabnya ribuan tahun sampai kini, ribuan kilometer jaraknya, masih tetap kuat pengaruhnya. Kepemimpinan itu adalah pengaruh. Siapa yang pengaruhnya paling kuat dialah yang kepemimpinannya paling kuat.
Jika kita ingin menyelamatkan orang lain harus terlebih dahulu menyelamatkan diri. Bagaimana mungkin menyelamatkan orang lain, kalu diri tidak selamat. Selamatkan diri kita agar punya kemampuan menyelamatkan orang lain. Kita tidak akan dapat menolong orang lain kalau kitanya rusak.
Rahasia lainnya, pemimpin dalam Islam itu adalah pelayan umat. Jadi kalau diilustrasikan lewat piramida, piramidanya seperti piramida terbalik, dan pemimpin adalah yang di bawah. Maka siapapun yang menjadi pemimpin, dia harus mengeluarkan pengorbanan yang paling besar dibanding dengan orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus berpikir keras, sekuat-kuatnya untuk memajukan orang yang dipimpinnya. Ini baru pemimpin sukses. Seorang guru yang baik adalah yang membuat murid-muridnya pintar, kalau tidak guru tersebut dianggap tidak bisa mengajar. Orang tua yang sukses adalah orang tua yang mengeksploitir dirinya supaya anaknya lebih baik dari dirinya. Ibu dan Bapak masing-masing memiliki pengalaman dan masa lalu kemudian menikah, ini akan lebih bagus tentunya. Bayangkan: dua potensi, kapasitas, ilmu dan
masa lalu bersatu menjadi anak, seharusnya anak ini menjadi brilian tetapi kadang-kandang kita terlalu sibuk masalah kantor, masalah uang akibatnya anak jadi gagal.
Pemimpin yang sukses adalah yang selalu berpikir menjadi manfaat yang paling besar bagi orang lain. Hal yang pertama adalah bagaimana orang yang kita pimpin jadi ahli ibadah. Sebab kalau yang kita pimpin jauh dari Allah, siapa lagi yang akan menolong. Misal kita punya toko, kita harus berjuang agar karyawan yang ada jadi dekat dengan Allah, sebab kalau mereka dekat dengan Allah, Allah pasti akan menolong. Seorang suami harus berpikir sekuat-kuatnya agar istri dan anak dekat dengan Allah, sebab bisa saja kita tiba-tiba mati. Tetapi kalau dia dekat dengan Allah, Allahlah yang melindungi.  Perlindungan ini jauh dari jangkauan manusia. Seorang suami itu bukan pemberi rezeki, suami itu sama-sama adalah pemakan rezeki.
Jadi ini penting sekali untuk meningkatkan ibadah, sebab pemimpin bukan pemberi uang, pemimpin bukan penolong. Allahlah yang menolong. Kalau yang memimpin durhaka kita yang mengikuti akan ketiban pulungnya. Maka pemimpin yang baik harus berpikir keras bagaimana pengikutnya mendapat ilmu agama, atau dimotivasi untuk ibadah dan sinergi dengan doa.
Kalau kita memimpin toko dengan sepuluh orang karyawan. Semuanya ahli tahajud, shaum, baca Qur'an bayangkan apa yang akan diberikan Allah kepada mereka. Jika kita punya pabrik 1000 orang, bikinlah sistem yang membuat orang bisa shalat berjamaah, bisa shalat tahajud dengan tahajud call. Buat supaya dapat baca Qur'an satu hari satu juz, bisa diharapkan sebulan khatam Al-Qur'an. Selesai kerja keras sinergikan dengan doa di malam hari. Doa ini adalah fasilitas senjata yang jarang kita gunakan belakang ini. Pemimpin harus selalu memperhatikan kualitas ibadah yang dipimpinnya. Tanpa ibadah yang bagus akhlak tidak akan bagus pula.
Hal yang kedua adalah pemimpin baik yang akan sukses adalah yang berpikir keras bagaimana orang-orang yang dipimpinnya bisa menjadi khalifah di dunia ini, pandai, profesional dan kerjanya bagus. Dia korbankan dirinya supaya orang-orang disekelilingnya bertambah pintar. Kebahagiaan kita itu adalah ketika melihat orang lain sukses. Orang yang mengikuti kita jadi pintar karena Allah yang membuatnya pintar, bukan karena kita. Kita beruntung karena terpilih jadi jalannya yaitu belajar kepada kita, bisa saja Allah menggerakkannya belajar kepada orang lain, dan orang lain yang mendapatkan pahalanya.
Kita harus sekuat tenaga membuat orang-orang di sekitar kita pintar, kalau bawahan selalu meminta nasihat dan saran kepada kita. Berarti kita tidak akan maju. Dan kita akan membuat mereka tergantung. Kita sebagai pemimpin harus punya banyak waktu untuk belajar, harus banyak waktu untuk mengup-grade, memperbaiki diri kita, maka berikan ilmu agar mereka maju.
Pimpinan harus berhasil mencari masalah, dia berhasil merumuskan penyelesaian masalah, dan dia berhasil melakukan apa yang dia rumuskan.
Pemimpin selalu membuat orang-orang disekitarnya pintar, selalu menemukan masalah, bisa mencari solusinya. Kita jangan sok pintar mencari solusi sendiri. Jadi bukan pemimpin yang baik jika segalanya dikerjakan sendirian. Akan capai nantinya, pemimpin adalah yang dapat membuat orang bangkit rasa percaya dirinya.
Hal yang ketiga adalah; setiap orang yang kita pimpin dia harus punya kemampuan dakwah, pemimpin yang baik adalah dia harus berfikir bagaimana murid-murid bisa dakwah, anak, istri bisa dakwah. Suplailah ilmu, wawasan Dimanapun kamu berada harus menjadi figur contoh, dakwahkan islam dengan baik.
Misalkan kita punya pabrik dengan 1000 karyawan jadinya akan ada 1000 mubaligh. Akibatnya karena kita jadi pemimpin, orang-orang jadi dekat dengan Allah, jadi profesional, orang-orang semuanya jadi agent of change yang menyebarkan perubahan kepada masyarakatnya, itulah pemimpin sejati, dan itulah yang dilakukan Rasul. Para sahabatnya semua jadi ahli ibadah yang tangguh, jadi pemimpin yang jagoan, profesional dan menyebar menjadi sarana kemuliaan dan martabat bagi umat, inilah pemimpin yang dibutuhkan.
Andaikata presiden di suatu negara seperti ini menjadi suri tauladan, setiap patah katanya, perbuatannya, ibadahnya, profesionalismenya dan ia adalah orang yang benar-benar mengeksploitir dirinya agar rakyatnya menjadi ahli ibadah semuanya. Andaikata sebelum rapat kabinet harus dibacakan ayat-ayat Al-Quran, dan prasyarat jadi calon menteri adalah harus hafal minimal lima juz. Menteri-menteri yang dipilih adalah yang paling kuat ibadahnya, paling profesional dan figur dirinya menjadi suri tauladan. Kehidupannya harus zuhud. Impian ini dapat menjadi kenyataan dengan gampang saja jika Allah
menghendaki. Mulainya adalah dari diri masing-masing.
Targetnya cuma diri dan rumah terlebih dahulu. Apa artinya kantor sukses kalau rumah hancur. Biasanya jatuhnya pemimpin berawal dari rumahnya. Janganlah memikirkan negara yang besar, coba pikirkan negara mini kita dahulu yaitu tubuh kita ini. Kemudian baru mulai membenahi kerajaan rumah kita.
Bonusnya adalah "Barangsiapa yang banyak bertobat, maka Allah akan menghilangkan segala kesedihan hati, melapangkan segala urusan dan Allah akan memberikan rezeki dari tempat yang tidak diduga-duga." Ini akan menjadi penambah semangat bagi kita semua.
Walhamdulillahirrobil'alamin


Rabu, 25 April 2012

Gelap Gulita Yang Tindih Bertindih


Ketika anda berada di ruangan yang gelap gulita, apa yang bisa anda lakukan? Tentu saja anda akan meraba-raba untuk menemukan jalan sambil mengerahkan daya insting anda. Anda tak tahu jalan untuk keluar, nafas anda sesak dan kegelisahan mulai menyelimuti anda. Tak ada sebersit cahayapun yang menyinari tempat anda berada.
Sekarang bayangkan bila hidup anda tak disinari oleh cahaya ilahi. Tentu saja anda pun akan berputar-putar tanpa arah di dalam kegelapan. Atau dalam bahasa Al-Qur'an: "Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia, mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun." (QS 24: 40)
Di saat keadaan gelap gulita, jiwa gelisah dan anda tak tahu apa yang harus anda kerjakan, beban kerjapun semakin menumpuk, himpitan ekonomi menghadang langkah anda, tubuh anda bergetar dan semuanya menjadi serba tak berarturan dan serba salah, jika hal ini menimpa anda maka carilah cahaya ilahi agar anda dapat keluar dari kegelapan itu.
Bagaimana caranya mencari cahaya ilahi yang akan menerangi hati anda?
"dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah!" (QS 74:4-5)
Mari kita bersihkan pakaian kita.tengoklah diri kita di cermin, berapa banyak pakaian kesombongan, pakaian riya', pakaian dengki, pakaian takabur yang kita kenakan. Pakaian itu kita percantik dengan segala macam asesoris seperti lalai mengingat Allah, enggan bersedekah, merasa berat untuk pergi haji, dan lain sebagainya. Maka bersihkanlah segala macam pakaian lengkap dengan asesorisnya tersebut. Setelah itu usahakanlah untuk tak mengenakan pakaian itu selamanya.
Sekarang tengoklah hati anda, rasakan cahaya ilahi mulai masuk ke dalam relung hati. "Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki..."(QS 24: 35)
Mari kita kumpulkan cahaya ilahi itu mulai sekarang, dari hari ke hari hingga di hari kiamat nanti kita berdo'a, sebagaimana terekam dalam QS 66:28 : "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Berbahagialah mereka yang mendapat cahaya ilahi....

Selasa, 24 April 2012

Lupakan Jasa Dan Kebaikan Diri


Semakin kita sering menganggap diri penuh jasa dan penuh kebaikan pada orang lain, apalagi menginginkan orang lain tahu akan jasa dan kebaikan diri kita, lalu berharap agar orang lain menghargai, memuji, dan membalasnya maka semua ini berarti kita sedang membangun penjara untuk diri sendiri dan sedang mempersiapkan diri mengarungi samudera kekecewaan dan sakit hati.
Ketahuilah bahwa semakin banyak kita berharap sesuatu dari selain Allah SWT, maka semakin banyak kita akan mengalami kekecewaan. Karena, tiada sesuatu apapun yang dapat terjadi tanpa ijin Allah. Sesudah mati-matian berharap dihargai makhluk dan Allah tidak menggerakkan orang untuk menghargai, maka hati ini akan terluka dan terkecewakan karena kita terlalu banyak berharap kepada makhluk. Belum lagi kerugian di akhirat karena amal yang dilakukan berarti tidak tulus dan tidak ikhlas, yaitu beramal bukan karena Allah.
Selayaknya kita menyadari bahwa yang namanya jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain, sesungguhnya bukanlah kita berjasa melainkan Allah-lah yang berbuat, dan kita dipilih menjadi jalan kebaikan Allah itu berwujud. Sesungguhnya terpilih menjadi jalan saja sudah lebih dari cukup karena andaikata Allah menghendaki kebaikan itu terwujud melalui orang lain maka kita tidak akan mendapat ganjarannya.
Jadi, ketika ada seseorang yang sakit, lalu sembuh berkat usaha seorang dokter. Maka, sebetulnya bukan dokter yang menyembuhkan pasien tersebut, melainkan Allah-lah yang menyembuhkan, dan sang dokter dipilih menjadi jalan. Seharusnya dokter sangat berterima kasih kepada sang pasien karena selain telah menjadi ladang pahala untuk mengamalkan ilmunya, juga telah menjadi jalan rizki dari Allah baginya. Namun, andaikata sang dokter menjadi merasa hebat karena jasanya, serta sangat menuntut penghormatan dan balas jasa yang berlebihan maka selain memperlihatkan kebodohan dan kekurangan imannya juga semakin tampak rendah mutu kepribadiannya (seperti yang kita maklumi orang yang tulus dan rendah hati selalu bernilai tinggi dan penuh pesona). Selain itu, di akhirat nanti niscaya akan termasuk orang yang merugi karena tidak beroleh pahala ganjaran.
Juga, tidak selayaknya seorang ibu menceritakan jasanya mulai dari mengandung, melahirkan, mendidik, membiayai, dan lain-lain semata-mata untuk membuat sang anak merasa berhutang budi. Apalagi jika dilakukan secara emosional dan proporsional kepada anak-anaknya, karena hal tersebut tidak menolong mengangkat wibawa sang ibu bahkan bisa jadi yang terjadi adalah sebaliknya. Karena sesungguhnya sang anak sama sekali tidak memesan untuk dilahirkan oleh ibu, juga semua yang ibunya lakukan itu adalah sudah menjadi kewajiban seorang ibu.
Percayalah bahwa kemuliaan dan kehormatan serta kewibawaan aeorang ibu/bapak justru akan bersinar-sinar seiring dengan ketulusan ibu menjalani tugas ini dengan baik, Insya Allah. Allah-lah yang akan menghujamkan rasa cinta di hati anak-anak dan menuntunnya untuk sanggup berbalas budi.
Seorang guru juga harus bisa menahan diri dari ujub dan merasa berjasa kepada murid-muridnya. Karena memang kewajiban guru untuk mengajar dengan baik dan tulus. Dan memang itulah rizki bagi seseorang yang ditakdirkan menjadi guru. Karena setiap kebaikan yang dilakukan muridnya berkah dari tuntunan sang guru akan menjadi ganjaran tiada terputus dan dapat menjadi bekal penting untuk akhirat. Kita boleh bercerita tentang suka duka dan keutamaan mengajar dengan niat bersyukur bukan ujub dan takabur.
Perlu lebih hati-hati menjaga lintasan hati dan lebih menahan diri andaikata ada salah seorang murid kita yang sukses, jadi orang besar. Biasanya akan sangat gatal untuk mengumumkan kepada siapapun tentang jasanya sebagai gurunya plus kadang dengan bumbu penyedap cerita yang kalau tidak pada tempatnya akan menggelincirkan diri dalam riya dan dosa.
Andaikata ada sebuah mobil yang mogok lalu kita membantu mendorongnya sehingga mesinnya hidup dan bisa jalan dengan baik. Namun ternyata sang supir sama sekali tidak berterima kasih. Jangankan membalas jasa, bahkan menengok ke arah kita pun tidak sama sekali.. andaikata kita merasa kecewa dan dirugikan lalu dilanjutkan dengan acara menggerutu, menyumpahi, lalu menyesali diri plus memaki sang supir. Maka lengkaplah kerugiannya lahir maupun batin. Dan tentu saja amal pun jadi tidak berpahala dalam pandangan Allah karena tidak ikhlas, yaitu hanya berharap balasan dari makhluk.
Seharusnya yang kita yakini sebagai rizki dan keberuntungan kita adalah takdir diri ini diijinkan Allah bisa mendorong mobil. Silahkan bayangkan andaikata ada mobil yang mogok dan kita tidak mengetahuinya atau kita sedang sakit tidak berdaya, niscaya kita tidak mendapat kesempatan beramal dengan mendorong mobil. Atau diri ini sedang sehat perkasa tapi mobil tidak ada yang mogok, lalu kita akan mendorong apa?
Takdir mendorong mobil adalah investasi besar, yakni kalau dilaksanakan penuh dengan ketulusan niscaya Allah yang Maha Melihat akan membalasnya dengan balasan yang mengesankan. Bukankah kita tidak tahu kapan kita akan mendapatkan kesulitan di perjalanan, maka takdir beramal adalah investasi.
Mari kita bersungguh-sungguh untuk terus berbuat amal kebajikan sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Setelah itu mari kita lupakan seakan kita tidak pernah melakukannya, cukuplah Allah yang Maha Melihat saja yang mengetahuinya. Allah SWT pasti menyaksikannya dengan sempurna dan membalasnya dengan balasan yang sangat tepat baik waktu, bentuk, ataupun momentumnya. Salah satu ciri orang yang ikhlas menurut Imam Ali adalah senang menyembunyikan amalannya bagai menyembunyikan aib-aibnya.
Selamat berbahagia bagi siapapun yang paling gemar beramal dan paling cepat melupakan jasa dan kebaikan dirinya, percayalah hidup ini akan jauh lebih nikmat, lebih ringan, dan lebih indah. Insya Allah.


Sabtu, 21 April 2012

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Irvanuddin

Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta, “ceritakan padaku akhlak Muhammad”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata, “ceritakan padaku keindahan dunia ini”!. Badui ini menjawab, “bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini...” Ali menjawab, “engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka”, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan “Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung”! (QS. Al-Qalam[68]: 4).
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-QurÕan (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu bagaikan Al-QurÕan berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu”minun[23]: 1-11.
Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.
Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah hanya menjawab, “ah semua perilakunya indah”. ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan”, suamiku berkata, “Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu”. Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “mengapa engkau tidur di sini”. Nabi Muhammmad menjawab, “aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu”. Mari berkaca di diri kita masing-masing.
Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita?
Nabi mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya”. Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.
Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.
Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, “syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain”. Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul menjawab ilmu pengetahuan”.
Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. “Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya. Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang munafik”.
Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan. Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.
Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.
Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin”. Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis”. Abu Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja”, Umar menjawab, “Aku tidak bermaksud membantahmu”. Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya”. (al-hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan rahasia”. Umar juga berbicara kepada Nabi dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etika berhadapan dengan Nabi.
Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi, “Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”.
Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah”. kata Utbah. Nabi membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.
Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan kita. Masya Allah!
Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? “Kembalilah engkau ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu”. Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung. Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari kita atau tidak.
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini”. Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, “lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum Allah memanggil Nabi.
Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah.....
Nabi Muhammad ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “benar ya Rasul!”
Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!”. Nabi meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah. “Ya Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlah”.
Wallohu’alam Bissowwab………

Jumat, 20 April 2012

Memperindah Hati "Qalbu"


Di Perpustakaan Universitas Al-Washliyah (UNIVA) Medan

Setiap manusia tentulah sangat menyukai dan merindukan keindahan. Banyak orang yang menganggap keindahan adalah pangkal dari segala puji dan harga. Tidak usah heran kalau banyak orang memburunya. Ada orang yang berani pergi beratus bahkan beribu kilometer semata-mata untuk mencari suasana pemandangan yang indah. Banyak orang rela membuang waktu untuk berlatih mengolah jasmani setiap saat karena sangat ingin memiliki tubuh yang indah. Tak sedikit juga orang berani membelanjakan uangnya berjuta bahkan bermilyar karena sangat rindu memiliki rumah atau kendaraan mewah.
Akan tetapi, apa yang terjadi?
Tak jarang kita menyaksikan betapa terhadap orang-orang yang memiliki pakaian dan penampilan yang mahal dan indah, yang datang ternyata bukan penghargaan, melainkan justru penghinaaan. Ada juga orang yang memiliki rumah megah dan mewah, tetapi bukannya mendapatkan pujian, melainkan malah cibiran dan cacian. Mengapa keindahan yang tadinya disangka akan mengangkat derajat kemuliaan malah sebaliknya, padahal kunci keindahan yang sesungguhnya adalah jika sesorang merawat serta memperhatikan kecantikan dan keindahan hati. Inilah pangkal kemuliaan sebenarnya.
Rasulullah SAW pakaiannya tidak bertabur bintang penghargaan, tanda jasa, dan pangkat. Akan tetapi, demi Allah sampai saat ini tidak pernah berkurang kemuliaannya. Rasulullah SAW tidak menggunakan singgasana dari emas yang gemerlap, ataupun memiliki rumah yang megah dan indah. Akan tetapi, sampai detik ini sama sekali tidak pernah luntur pujian dan penghargaan terhadapnya, bahkan hingga kelak datang akhir zaman.
Apakah rahasianya?
Ternyata semua itu dikarenakan Rasulullah SAW adalah orang yang sangat menjaga mutu keindahan dan kesucian hatinya.
Rasulullah SAW bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu!" (HR. Bukhari dan Muslim).
Boleh saja kita memakai segala apapun yang indah-indah. Namun, kalau tidak memiliki hati yang indah,demi Allah tidak akan pernah ada keindahan yang sebenarnya. Karenanya jangan terpedaya oleh keindahan dunia. Lihatlah, begitu banyak wanita malang yang tidak mengenal moral dan harga diri. Mereka pun tidak kalah indah dan molek wajah, tubuh, ataupun penampilannya. Kendatipun demikian, mereka tetap diberi oleh Allah dunia yang indah dan melimpah.
Ternyata dunia dan kemewahan bukanlah tanda kemuliaan yang sesungguhnya karena orang-orang yang rusak dan durjana sekalipun diberi aneka kemewahan yang melimpah ruah oleh Allah. Kunci bagi orang-orang yang ingin sukses, yang ingin benar-benar merasakan lezat dan mulianya hidup, adalah orang-orang yang sangat memelihara serta merawat keindahan dan kesucian qalbunya.
Imam Al Ghazali menggolongkan hati ke dalam tiga golongan, yakni yang sehat (qolbun shahih), hati yang sakit (qolbun maridh), dan hati yang mati (qolbun mayyit).
Seseorang yang memiliki hati sehat tak ubahnya memiliki tubuh yang sehat. Ia akan berfungsi optimal. Ia akan mampu memilih dan memilah setiap rencana atas suatu tindakan, sehingga setiap yang akan diperbuatnya benar-benar sudah melewati perhitungan yang jitu berdasarkan hati nurani yang bersih.
Orang yang paling beruntung memiliki hati yang sehat adalah orang yang dapat mengenal Allah Azza wa Jalla dengan baik. Semakin cemerlang hatinya, maka akan semakin mengenal dia. Penguasa jagat raya alam semesta ini. Ia akan memiliki mutu pribadi yang begitu hebat dan mempesona. Tidak akan pernah menjadi ujub dan takabur ketika mendapatkan sesuatu, namun sebaliknya akan menjadi orang yang tersungkur bersujud. Semakin tinggi pangkatnya, akan membuatnya semakin rendah hati. Kian melimpah hartanya, ia akan kian dermawan. Semua itu dikarenakan ia menyadari, bahwa semua yang ada adalah titipan Allah semata. Tidak dinafkahkan di jalan Allah, pasti Allah akan mengambilnya jika Dia kehendaki.
Semakin bersih hati, hidupnya akan selalu diselimuti rasa syukur. Dikaruniai apa saja, kendati sedikit, ia tidak akan habis-habisnya meyakini bahwa semua ini adalah titipan Allah semata, sehingga amat jauh dari sikap ujub dan takabur. Persis seperti ucapan yang terlontar dari lisan Nabi Sulaiman AS, tatkala dirinya dianugerahi Allah berbagai kelebihan,
"Haadzaa min fadhli Rabbii, liyabluwani a-asykuru am afkuru." (QS. An Naml [27] : 40).
Ini termasuk karunia Tuhanku, untuk mengujiku apakah aku mampu bersyukur atau malah kufur atas nikmat-Nya.
Suatu saat bagi Allah akan menimpakkan ujian dan bala. Bagi orang yang hatinya bersih, semua itu tidak kalah terasa nikmatnya. Ujian dan persoalan yang menimpa justru benar-benar akan membuatnya kian merasakan indahnya hidup ini. Karena, orang yang mengenal Allah dengan baik berkat hati yang bersih, akan merasa yakin bahwa ujian adalah salah satu perangkat kasih sayang Allah, yang membuat seseorang semakin bermutu.
Dengan persoalan akan menjadikannya semakin bertambah ilmu. Dengan persoalan akan bertambahlah ganjaran. Dengan persoalan pula derajat kemuliaan seorang hamba Allah akan bertambah baik, sehingga ia tidak pernah resah, kecewa, dan berkeluh kesah karena menyadari bahwa persoalan merupakan bagian yang harus dinikmati dalam hidup ini.
Oleh karenanya, tidak usah heran orang yang hatinya bersih, ditimpa apapun dalam hidup ini, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam. Tidak pernah akan berguncang walaupun ombak badai saling menerjang. Ibarat karang yang tegak tegar, dihantam ombak sedahsyat apapun tidak akan pernah roboh. Tidak ada putus asa, tidak ada keluh kesah berkepanjangan. Yang ada hanya kejernihan dan keindahan hati. Ia amat yakin dengan janji Allah, "Laa yukalifullahu nafasan illa wus’ahaa." (QS. Al Baqarah [2] : 286).
Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali sesuai dengan kesanggupannya. Pasti semua yang menimpa sudah diukur oleh-Nya. Mahasuci Allah dari perbuatan zhalim kepada hamba-hamba-Nya.
Ia sangat yakin bahwa hujan pasti berhenti. Badai pasti berlalu. Malam pasti berganti menjadi siang. Tidak ada satu pun ujian yang menimpa, kecuali pasti akan ada titik akhirnya. Ia tidak berubah bagai intan yang akan tetap kemilau walaupun dihantam dengan apapun jua.
Memang luar biasa orang yang memiliki hati yang bersih. Nikmat datang tak pernah membuatnya lalai bersyukur, sementara sekalipun musibah yang menerjang, sama sekali tidak akan pernah mengurangi keyakinan akan curahan kasih sayang-Nya. Semua itu dikarenakan ia bisa menyelami sesuatu secara lebih dalam atas musibah yang menimpa dirinya, sehingga tergapailah sang mutiara hikmah. Subhanallaah, sungguh teramat beruntung siapapun yang senantiasa berikhtiar dengan sekuat-kuatnya untuk memperindah hatinya.

Kamis, 19 April 2012

Berfikir Secara Mendalam


Irvanuddin

Banyak yang beranggapan bahwa untuk "berpikir secara mendalam", seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, mereka telah menganggap "berpikir secara mendalam" sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan "filosof".
Padahal, sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan, Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam atau merenung. Allah berfirman bahwa Al-Qur'an diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan:
"Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu, penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran" (QS. Shaad, 38: 29).
Yang ditekankan di sini adalah bahwa setiap orang hendaknya berusaha secara ikhlas sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir.
Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian yang sangat. Kata kelalaian mengandung arti:
"ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan". Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama. Ini adalah jalan hidup yang sangat berbahaya yang dapat menghantarkan seseorang ke neraka. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah memperingatkan manusia agar tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang lalai:
"Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai." (QS. Al-A'raaf, 7: 205)
"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS. Maryam, 19: 39)
Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan tentang mereka yang berpikir secara sadar, kemudian merenung dan pada akhirnya sampai kepada kebenaran yang menjadikan mereka takut kepada Allah. Sebaliknya, Allah juga menyatakan bahwa orang-orang yang mengikuti para pendahulu mereka secara taklid buta tanpa berpikir, ataupun hanya sekedar mengikuti kebiasaan yang ada, berada dalam kekeliruan. Ketika ditanya, para pengekor yang tidak mau berpikir tersebut akan menjawab bahwa mereka adalah orang-orang yang menjalankan agama dan beriman kepada Allah. Tetapi karena tidak berpikir, mereka sekedar melakukan ibadah dan aktifitas hidup tanpa disertai rasa takut kepada Allah. Mentalitas golongan ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Qur'an:
Katakanlah: "Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak ingat?"
Katakanlah: "Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "Maka apakah kamu tidak bertakwa?"
Katakanlah: "Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?"
Mereka akan menjawab: "Kepunyaan Allah." Katakanlah: "(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?"
"Sebenarnya Kami telah membawa kebenaran kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta." (QS. Al-Mu'minuun, 23: 84-90)

A.      Berpikir Dapat Membebaskan Seseorang Dari Belenggu Sihir
Membaca Kitab Mukhtar Al-Hadits
Dalam ayat di atas, Allah bertanya kepada manusia, "…maka dari jalan manakah kamu ditipu (disihir)?. Kata disihir atau tersihir di sini mempunyai makna kelumpuhan mental atau akal yang menguasai manusia secara menyeluruh. Akal yang tidak digunakan untuk berpikir berarti bahwa akal tersebut telah lumpuh, penglihatan menjadi kabur, berperilaku sebagaimana seseorang yang tidak melihat kenyataan di depan matanya, sarana yang dimiliki untuk membedakan yang benar dari yang salah menjadi lemah. Ia tidak mampu memahami sebuah kebenaran yang sederhana sekalipun. Ia tidak dapat membangkitkan kesadarannya untuk memahami peristiwa-peristiwa luar biasa yang terjadi di sekitarnya. Ia tidak mampu melihat bagian-bagian rumit dari peristiwa-peristiwa yang ada. Apa yang menyebabkan masyarakat secara keseluruhan tenggelam dalam kehidupan yang melalaikan selama ribuan tahun serta menjauhkan diri dari berpikir sehingga seolah-olah telah menjadi sebuah tradisi adalah kelumpuhan akal ini.
Pengaruh sihir yang bersifat kolektif tersebut dapat dikiaskan sebagaimana berikut:
Dibawah permukaan bumi terdapat sebuah lapisan mendidih yang dinamakan magma, padahal kerak bumi sangatlah tipis. Tebal lapisan kerak bumi dibandingkan keseluruhan bumi adalah sebagaimana tebal kulit apel dibandingkan buah apel itu sendiri. Ini berarti bahwa magma yang membara tersebut demikian dekatnya dengan kita, dibawah telapak kaki kita!
Setiap orang mengetahui bahwa di bawah permukaan bumi ada lapisan yang mendidih dengan suhu yang sangat panas, tetapi manusia tidak terlalu memikirkannya. Hal ini dikarenakan para orang tua, sanak saudara, kerabat, teman, tetangga, penulis artikel di koran yang mereka baca, produser acara-acara TV dan professor mereka di universitas tidak juga memikirkannya.
Ijinkanlah saya mengajak anda berpikir sebentar tentang masalah ini. Anggaplah seseorang yang telah kehilangan ingatan berusaha untuk mengenal sekelilingnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada setiap orang di sekitarnya.
Pertama-tama ia menanyakan tempat dimana ia berada. Apakah kira-kira yang akan muncul di benaknya apabila diberitahukan bahwa di bawah tempat dia berdiri terdapat sebuah bola api mendidih yang dapat memancar dan berhamburan dari permukaan bumi pada saat terjadi gempa yang hebat atau gunung meletus?
Mari kita berbicara lebih jauh dan anggaplah orang ini telah diberitahu bahwa bumi tempat ia berada hanyalah sebuah planet kecil yang mengapung dalam ruang yang sangat luas, gelap dan hampa yang disebut ruang angkasa. Ruang angkasa ini memiliki potensi bahaya yang lebih besar dibandingkan materi bumi tersebut, misalnya: meteor-meteor dengan berat berton-ton yang bergerak dengan leluasa di dalamnya. Bukan tidak mungkin meteor-meteor tersebut bergerak ke arah bumi dan kemudian menabraknya.
Mustahil orang ini mampu untuk tidak berpikir sedetikpun ketika berada di tempat yang penuh dengan bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya. Ia pun akan berpikir pula bagaimana mungkin manusia dapat hidup dalam sebuah planet yang sebenarnya senantiasa berada di ujung tanduk, sangat rapuh dan membahayakan nyawanya. Ia lalu sadar bahwa kondisi ini hanya terjadi karena adanya sebuah sistim yang sempurna tanpa cacat sedikitpun. Kendatipun bumi, tempat ia tinggal, memiliki bahaya yang luar biasa besarnya, namun padanya terdapat sistim keseimbangan yang sangat akurat yang mampu mencegah bahaya tersebut agar tidak menimpa manusia. Seseorang yang menyadari hal ini, memahami bahwa bumi dan segala makhluk di atasnya dapat melangsungkan kehidupan dengan selamat hanya dengan kehendak Allah, disebabkan oleh adanya keseimbangan alam yang sempurna dan tanpa cacat yang diciptakan-Nya.
Contoh di atas hanyalah satu diantara jutaan, atau bahkan trilyunan contoh-contoh yang hendaknya direnungkan oleh manusia. Di bawah ini satu lagi contoh yang mudah-mudahan membantu dalam memahami bagaimana "kondisi lalai" dapat mempengaruhi sarana berpikir manusia dan melumpuhkan kemampuan akalnya.
Manusia mengetahui bahwa kehidupan di dunia berlalu dan berakhir sangat cepat. Anehnya, masih saja mereka bertingkah laku seolah-olah mereka tidak akan pernah meninggalkan dunia. Mereka melakukan pekerjaan seakan-akan di dunia tidak ada kematian. Sungguh, ini adalah sebuah bentuk sihir atau mantra yang terwariskan secara turun-temurun. Keadaan ini berpengaruh sedemikian besarnya sehingga ketika ada yang berbicara tentang kematian, orang-orang dengan segera menghentikan topik tersebut karena takut kehilangan sihir yang selama ini membelenggu mereka dan tidak berani menghadapi kenyataan tersebut. Orang yang mengabiskan seluruh hidupnya untuk membeli rumah yang bagus, penginapan musim panas, mobil dan kemudian menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang bagus, tidak ingin berpikir bahwa pada suatu hari mereka akan mati dan tidak akan dapat membawa mobil, rumah, ataupun anak-anak beserta mereka. Akibatnya, daripada melakukan sesuatu untuk kehidupan yang hakiki setelah mati, mereka memilih untuk tidak berpikir tentang kematian.
Namun, cepat atau lambat setiap manusia pasti akan menemui ajalnya. Setelah itu, percaya atau tidak, setiap orang akan memulai sebuah kehidupan yang kekal. Apakah kehidupannya yang abadi tersebut berlangsung di surga atau di neraka, tergantung dari amal perbuatan selama hidupnya yang singkat di dunia. Karena hal ini adalah sebuah kebenaran yang pasti akan terjadi, maka satu-satunya alasan mengapa manusia bertingkah laku seolah-olah mati itu tidak ada adalah sihir yang telah menutup atau membelenggu mereka akibat tidak berpikir dan merenung.
Orang-orang yang tidak dapat membebaskan diri mereka dari sihir dengan cara berpikir, yang mengakibatkan mereka berada dalam kelalaian, akan melihat kebenaran dengan mata kepala mereka sendiri setelah mereka mati, sebagaimana yang diberitakan Allah kepada kita dalam Al-Qur'an :
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS. Qaaf, 50: 22)
Dalam ayat di atas penglihatan seseorang menjadi kabur akibat tidak mau berpikir, akan tetapi penglihatannya menjadi tajam setelah ia dibangkitkan dari alam kubur dan ketika mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya di akhirat.
Perlu digaris bawahi bahwa manusia mungkin saja membiarkan dirinya secara sengaja untuk dibelenggu oleh sihir tersebut. Mereka beranggapan bahwa dengan melakukan hal ini mereka akan hidup dengan tentram. Syukurlah bahwa ternyata sangat mudah bagi seseorang untuk merubah kondisi yang demikian serta melenyapkan kelumpuhan mental atau akalnya, sehingga ia dapat hidup dalam kesadaran untuk mengetahui kenyataan. Allah telah memberikan jalan keluar kepada manusia; manusia yang merenung dan berpikir akan mampu melepaskan diri dari belenggu sihir pada saat mereka masih di dunia. Selanjutnya, ia akan memahami tujuan dan makna yang hakiki dari segala peristiwa yang ada. Ia pun akan mampu memahami kebijaksanaan dari apapun yang Allah ciptakan setiap saat.

B.      Seseorang Dapat Berpikir Kapanpun Dan Dimanapun
Irvanuddin
Berpikir tidaklah memerlukan waktu, tempat ataupun kondisi khusus. Seseorang dapat berpikir sambil berjalan di jalan raya, ketika pergi ke kantor, mengemudi mobil, bekerja di depan komputer, menghadiri pertemuan dengan rekan-rekan, melihat TV ataupun ketika sedang makan siang Bahkan didalam penjara "Rumah Tahanan".
Misalnya: di saat sedang mengemudi mobil, seseorang melihat ratusan orang berada di luar. Ketika menyaksikan mereka, ia terdorong untuk berpikir tentang berbagai macam hal. Dalam benaknya tergambar penampilan fisik dari ratusan orang yang sedang disaksikannya yang sama sekali berbeda satu sama lain. Tak satupun diantara mereka yang mirip dengan yang lain. Sungguh menakjubkan: kendatipun orang-orang ini memiliki anggota tubuh yang sama, misalnya sama-sama mempunyai mata, alis, bulu mata, tangan, lengan, kaki, mulut dan hidung; tetapi mereka terlihat sangat berbeda satu sama lain. Ketika berpikir sedikit mendalam, ia akan teringat bahwa:
Allah telah menciptakan bilyunan manusia selama ribuan tahun, semuanya berbeda satu dengan yang lain. Ini adalah bukti nyata tentang ke Maha Perkasaan dan ke Maha Besaran Allah.
Menyaksikan manusia yang sedang lalu lalang dan bergegas menuju tempat tujuan mereka masing-masing, dapat memunculkan beragam pikiran di benak seseorang. Ketika pertama kali memandang, muncul di pikirannya: manusia yang jumlahnya banyak ini terdiri atas individu-individu yang khas dan unik. Tiap individu memiliki dunia, keinginan, rencana, cara hidup, hal-hal yang membuatnya bahagia atau sedih, serta perasaannya sendiri. Secara umum, setiap manusia dilahirkan, tumbuh besar dan dewasa, mendapatkan pendidikan, mencari pekerjaan, bekerja, menikah, mempunyai anak, menyekolahkan dan menikahkan anak-anaknya, menjadi tua, menjadi nenek atau kakek dan pada akhirnya meninggal dunia. Dilihat dari sudut pandang ini, ternyata perjalanan hidup semua manusia tidaklah jauh berbeda; tidak terlalu penting apakah ia hidup di perkampungan di kota Istanbul atau di kota besar seperti Mexico, tidak ada bedanya sedikitpun. Semua orang suatu saat pasti akan mati, seratus tahun lagi mungkin tak satupun dari orang-orang tersebut yang akan masih hidup. Menyadari kenyataan ini, seseorang akan berpikir dan bertanya kepada dirinya sendiri: "Jika kita semua suatu hari akan mati, lalu apakah gerangan yang menyebabkan manusia bertingkah laku seakan-akan mereka tak akan pernah meninggalkan dunia ini? Seseorang yang akan mati sudah sepatutnya beramal secara sungguh-sungguh untuk kehidupannya setelah mati; tetapi mengapa hampir semua manusia berkelakuan seolah-olah hidup mereka di dunia tak akan pernah berakhir?"
Orang yang memikirkan hal-hal semacam ini lah yang dinamakan orang yang berpikir dan mencapai kesimpulan yang sangat bermakna dari apa yang ia pikirkan.
Sebagian besar manusia tidak berpikir tentang masalah kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Ketika mendadak ditanya,"Apakah yang sedang anda pikirkan saat ini?", maka akan terlihat bahwa mereka sedang memikirkan segala sesuatu yang sebenarnya tidak perlu untuk dipikirkan, sehingga tidak akan banyak manfaatnya bagi mereka. Namun, seseorang bisa juga "berpikir" hal-hal yang "bermakna", "penuh hikmah" dan "penting" setiap saat semenjak bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, dan mengambil pelajaran ataupun kesimpulan dari apa yang dipikirkannya.
Dalam Al-Qur'an, Allah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman memikirkan dan merenungkan secara mendalam segala kejadian yang ada dan mengambil pelajaran yang berguna dari apa yang mereka pikirkan.
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS. Ali 'Imran, 3: 190-191).
Ayat di atas menyatakan bahwa oleh karena orang-orang yang beriman adalah mereka yang berpikir, maka mereka mampu melihat hal-hal yang menakjubkan dari ciptaan Allah dan mengagungkan Kebesaran, Ilmu serta Kebijaksanaan Allah.

C.      Berpikir Dengan Ikhlas Sambil Menghadapkan Diri Kepada Allah
Shalat
Agar sebuah perenungan menghasilkan manfaat dan seterusnya menghantarkan kepada sebuah kesimpulan yang benar, maka seseorang harus berpikir positif. Misalnya: seseorang melihat orang lain dengan penampilan fisik yang lebih baik dari dirinya. Ia lalu merasa dirinya rendah karena kekurangan yang ada pada fisiknya dibandingkan dengan orang tersebut yang tampak lebih rupawan. Atau ia merasa iri terhadap orang tersebut. Ini adalah pikiran yang tidak dikehendaki Allah. Jika ridha Allah yang dicari, maka seharusnya ia menganggap bagusnya bentuk rupa orang yang ia lihat sebagai wujud dari ciptaan Allah yang sempurna. Dengan melihat orang yang rupawan sebagai sebuah keindahan yang Allah ciptakan akan memberikannya kepuasan. Ia berdoa kepada Allah agar menambah keindahan orang tersebut di akhirat. Sedang untuk dirinya sendiri, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniai keindahan yang hakiki dan abadi di akhirat kelak. Hal serupa seringkali dialami oleh seorang hamba yang sedang diuji oleh Allah untuk mengetahui apakah dalam ujian tersebut ia menunjukkan perilaku serta pola pikir yang baik yang diridhai Allah atau sebaliknya.
Keberhasilan dalam menempuh ujian tersebut, yakni dalam melakukan perenungan ataupun proses berpikir yang mendatangkan kebahagiaan di akhirat, masih ditentukan oleh kemauannya dalam mengambil pelajaran atau peringatan dari apa yang ia renungkan. Karena itu, sangatlah ditekankan disini bahwa seseorang hendaknya selalu berpikir secara ikhlas sambil menghadapkan diri kepada Allah. Allah berfirman dalam Al-Qur'an :
"Dia lah yang memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya dan menurunkan untukmu rezki dari langit. Dan tiadalah mendapat pelajaran kecuali orang-orang yang kembali (kepada Allah)." (QS. Ghaafir, 40: 13).